









Pop Art is a visual art movement that emerged in the mid 1950s in Britain and in parallel in the late 1950s in the United States. [1] Pop Art challenged tradition by asserting that an artist's use of the mass-produced visual commodities of popular culture is contiguous with the perspective of Fine Art since Pop removes the material from its context and isolates the object, or combines it with other objects, for contemplation. [1] [2] The concept of Pop Art refers not as much to the art itself as to the attitudes that led to it. [2]
Pop Art is one of the major art movements of the twentieth century. Characterized by themes and techniques drawn from popular mass culture, such as advertising, comic books and mundane cultural objects, Pop Art is widely interpreted as a reaction to the then-dominant ideas of Abstract Expressionism, as well as an expansion upon them. [3] Pop Art, like pop music, aimed to employ images of popular as opposed to elitist culture in art, emphasizing the banal or kitschy elements of any given culture, most often through the use of irony. [2] It has also been defined by the artists' use of mechanical means of reproduction or rendering techniques.
Much of Pop Art is considered incongruent, as the conceptual practices that are often used make it difficult for some to readily comprehend. Pop Art and Minimalism are considered to be the last Modern Art movements and thus the precursors to Postmodern Art, or some of the earliest examples of Postmodern Art themselves.[4]
“Poin terbesar dalam konsep ini adalah penghematan air dan energi serta penggunaan energi terbarukan,” kata Rana Yusuf Nasir dari Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI), sebagai salah satu pembicara dalam diskusi panel “Pemanasan Global-Apa yang Dapat Dilakukan Dunia Properti?”, Jumat (24/8) di Jakarta.
Menurut Rana, di Indonesia akses energi terbarukan masih lemah. Suplai energi listrik untuk properti hanya mengandalkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang belum menggunakan sumber energi terbarukan.
Di Amerika Serikat, lanjut Rana, berbagai perusahaan penyuplai energi listrik dengan berbagai pilihan bahan bakar, termasuk bahan bakar terbarukan. Pengembang yang memilih energi listrik dari sumber terbarukan akan memperoleh poin terbesar dalam konsep green building.
Pembicara dalam diskusi panel tersebut di antaranya Yandi Andri Yatmo (Ikatan Arsitek Indonesia-Jakarta), Meiko Handoyo (Dewan Pimpinan Daerah Real Estat Indonesia-Jakarta), Simon Molenberg (Director Tourism, Real Estate and Construction Asia Region), dan Stephanus D Satriyo (Asosiasi Manajemen Properti Indonesia).
Di banyak negara, bagi Meiko, penerapan konsep green building terbukti menambah nilai jual. Namun, di Indonesia masih butuh proses edukasi panjang. Di Indonesia bahkan muncul kerancuan bahwa bangunan ramah lingkungan itu mahal, sulit, dan tidak feasible secara bisnis.
“Para pengelola gedung sebagai pengguna energi cukup besar kini memiliki tanggung jawab mengurangi pemanasan global dengan cara-cara menghemat energi, air, bahan bakar, dan sebagainya,” kata Satriyo.
Kegiatan diskusi panel yang difasilitasi PT Colliers International Indonesia dan PT Cisco System Indonesia itu sekaligus untuk mengenalkan acuan green building melalui konsep Leadership in Energy and Environtmental Design (LEED).
Menurut Rana, penerapan konsep LEED pada hakikatnya sebagai upaya pemberian penghargaan atas karya properti ramah lingkungan atau yang memegang konsep green building.
Konsep LEED memperkenalkan 85 poin penilaian yang memiliki peringkat tersertifikasi, silver, gold, dan platinum.
Efisiensi
Menurut Rana, yang juga menjadi Ketua Himpunan Ahli Tata Udara dan Refrigerasi tersebut, penerapan LEED untuk pembangunan properti juga mensyaratkan secara mutlak beberapa hal, seperti efisiensi penggunaan air, penggunaan energi secara minimum, atau upaya perlindungan lapisan ozon.
Sementara itu, menurut Rana, pemilik atau pembangun properti di Indonesia hingga sekarang belum ada yang memiliki sertifikasi LEED.
Beberapa negara, seperti India, China, Dubai, dan Vietnam, juga sudah cukup banyak menerapkan konsep LEED. Sertifikasi LEED pada awalnya dirumuskan Green Building Council Amerika Serikat.
Menurut Yandi, dunia pendidikan dan profesi arsitektur selama ini cenderung melihat arsitektur sebagai bangunan yang berdiri sendiri.
“Kita perlu memperluas pengertian tentang arsitektur ini. Tolok ukur green building membuka kesempatan untuk menempatkan bangunan dalam jaringan yang lebih luas, terkait aspek-aspek iklim, sumber daya alam, sosial, dan budaya,” kata Yandi Andri Yatmo.
Menurut dia, “Pendidikan berperan penting dalam pemahaman tentang sustainability.”
Isu utama menyangkut bangunan ramah lingkungan, kata Yandi, di antaranya adalah membangun hanya yang diperlukan dan tidak menggunakan lebih dari yang diperlukan, menganut prinsip keterkaitan, serta memandang profesi arsitek sebagai “pengurus bumi” (steward of the earth).
Strategi desain yang dapat diterapkan antara lain, tambah Yandi, pemanfaatan material berkelanjutan, keterkaitan dengan ekologi lokal, keterkaitan antara transit dan tempat tinggal, rekreasi dan bekerja, serta efisiensi penggunaan air, penanganan limbah, dan mengedepankan kondisi lokal baik secara fisik maupun secara sosial.